Minggu, 04 Januari 2009

Hukum Perayaan Tahun Baru

Oleh : Agam Rosyidi


Pada saat pergantian tahun, kita akan menyaksikan betapa gencarnya liputan media massa dalam rangka menyambut datangnya tahun baru. Terlihat bahwa masyarakat bersuka cita menggantungkan harapan-harapan dengan adanya hal itu.
Sebelum membahas lebih jauh tentang hukum perayaan menyambut tahun baru, mari kita simak terlebih dahulu sejarah penetapan tahun 1 januari sebagai pertanda tahun baru.
Bila melongok sejarahnya, penetapan 1 Januari sebagai pertanda Tahun Baru bermula pada abad 46 Sebelum Masehi (SM). Ketika itu Kaisar Julius Caesar membuat kalender Matahari. Kalender yang dinilai lebih akurat ketimbang kalender-kalender lain pernah dibuat sebelumnya.
Sebelum Caesar membuat kalender Matahari, pada abad 153 SM, Janus seorang pendongeng di Roma yang menetapkan awal mula tahun. Dengan dua wajahnya, Janus mampu melihat kejadian di masa lalu dan masa depan. Dialah yang menjadi simbol kuno resolusi (sebuah pencapaian) Tahun Baru. Bangsa Roma berharap dengan dimulainya tahun yang baru, kesalahan-kesalahan di masa lalu dapat dimaafkan. Sebagai penebus dosa, tahun baru juga ditandai dengan tukar kado.Setelah menyimak sejarahnya, marilah kita lihat dalil-dalil dari Kitabullah, as-Sunnah dan atsar-atsar yang shahih yang melarang untuk menyerupai orang-orang kafir di dalam hal yang menjadi ciri dan kekhususan mereka.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tahun baru masehi awalnya merupakan suatu ritual Bangsa Roma, dan bahkan dianggap sebagai penebus dosa.
Tahun baru merupakan suatu hari yang datang kembali dan terulang, yang diagung-agungkan oleh orang-orang kafir. Atau sebutan bagi tempat orang-orang kafir dalam menyelenggarakan perkumpulan keagamaan. Jadi, setiap perbuatan yang mereka ada-adakan di tempat-tempat atau waktu-waktu seperti ini maka itu termasuk hari besar mereka. Karenanya, larangannya bukan hanya terhadap hari-hari besar yang khusus buat mereka saja, akan tetapi setiap waktu dan tempat yang mereka agungkan yang sesungguhnya tidak ada landasannya di dalam agama Islam, demikian pula, perbuatan-perbuatan yang mereka ada-adakan di dalamnya juga termasuk ke dalam hal itu. Ditambah lagi dengan hari-hari sebelum dan sesudahnya yang nilai religiusnya bagi mereka sama saja sebagaimana yang disinggung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah firmanNya.

"Dan orang-orang yang tidak menyaksikan az-zuur." [Al-Furqan : 72]
.
Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Sekelompok ulama seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan Ar-Rabi’ bin Anas menafsirkan kata "Az-Zuura" (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir.

Dalam hadits yang shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, "Dua hari untuk apa ini ?". Mereka menjawab, "Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa Jahiliyyah". Lantas beliau bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya : Iedul Adha dan Iedul Fithri"
Demikian pula terdapat hadits yang shahih dari Tsabit bin Adl-Dlahhak Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, "Seorang laki-laki telah bernadzar pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari berkata.

"Artinya : Sesungguhnya aku telah bernadzar untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari berhala-berhala Jahiliyyah yang disembah ? Mereka menjawab, ‘Tidak’. Beliau bertanya lagi. ‘Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari hari-hari besar mereka ?’. Mereka menjawab, ‘Tidak’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tepatilah nadzarmu karena tidak perlu menepati nadzar di dalam berbuat maksiat kepada Allah dan di dalam hal yang tidak dipunyai (tidak mampu dilakukan) oleh manusia"

Umar bin Al-Khaththtab Radhiyallahu ‘anhu berkata, "Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka"

Dia berkata lagi, "Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka"

Dan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, "Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festifal seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka"
. Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan di atas, maka tidak boleh hukumnya seorang Muslim yang beriman kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama serta Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, mengadakan perayaan-perayaan hari-hari besar yang tidak ada landasannya dalam Agama Islam, termasuk diantaranya pesta ‘Tahun Baru’. Juga, tidak boleh hadir pada acaranya, berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun karena hal itu termasuk dosa dan melampaui aturan-aturan Allah sedangkan Allah sendiri terlah berfirman, "Dan janganlah bertolong-tolongan di atas berbuat dosa dan melampaui batas, bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat pedih siksaanNya" [Al-Maidah : 2]
Namun sangat disayangkan masih banyak di antara kaum muslimin yang meniru-niru perayaan mereka. Bahkan ada yang ikut serta merayakan hari raya mereka. Di antaranya ada yang memberikan ucapan selamat atau ikut meramaikannya dengan berbagai acara seperti meniup terompet pada malam tahun baru dan yang semisalnya. Serta memasang hiasan-hiasan di rumahnya pada saat perayaan mereka.
Ini bukan berarti kaum muslimin mengabaikan serta tidak mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut. Bahkan kaum muslimin senantiasa dituntut untuk selalu mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang bermanfaat dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun (hal ini dilarang) karena perayaan adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh dikhususkan dengan dilakukan secara berulang-ulang (ditradisikan, red) kecuali ada perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atau Rasul-Nya.
Jika orang-orang terbaik dari umat ini (Rasul dan para sahabat) tidak melakukannya, lalu apa yang menyebabkan seseorang melakukannya? Apakah dirinya merasa lebih tahu dan lebih tinggi ilmunya dari para shahabat? Ataukah dia menganggap para shahabat lebih tahu namun mereka tidak mau mengamalkan ilmunya?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.

Mencari Makna Musibah

Oleh : Adi Sumaryadi

Musibah berasal dari kata ashaaba, yushiibu, mushiibatan yang berarti segala yang menimpa pada sesuatu baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Namun, umumnya dipahami musibah selalu identik dengan kesusahan. Padahal, kesenangan yang dirasakan pada hakikatnya musibah juga. Dengan musibah, Allah SWT hendak menguji siapa yang paling baik amalnya.

`Sesungguhnya kami telah jadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, karena Kami hendak memberi cobaan kepada mereka, siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya.` (QS Al-Kahfi (18): 7) Ada tiga golongan manusia dalam menghadapi musibah. Pertama, orang yang menganggap bahwa musibah adalah sebagai hukuman dan azab kepadanya. Sehingga, dia selalu merasa sempit dada dan selalu mengeluh.

Kedua, orang yang menilai bahwa musibah adalah sebagai penghapus dosa. Ia tidak pernah menyerahkan apa-apa yang menimpanya kecuali kepada Allah SWT. Ketiga, orang yang meyakini bahwa musibah adalah ladang peningkatan iman dan takwanya. Orang yang seperti ini selalu tenang serta percaya bahwa dengan musibah itu Allah SWT menghendaki kebaikan bagi dirinya.

Musibah yang ditimpakan kepada manusia ada dua macam. Pertama, musibah dunia; dan kedua, musibah akhirat. Musibah dunia salah satunya ialah ketakutan, kelaparan, kematian, dan sebagainya sebagaimana Allah SWT jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 155. `Dan pasti akan kami uji kalian dengan sesuatu dari ketakutan, dan kelaparan, dan kekurangan harta dan jiwa dan buah-buahan, dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.` Adapun musibah akhirat adalah orang yang tidak punya amal saleh dalam hidupnya, sehingga jauh dari pahala. Rasulullah SAW pernah bersabda, `Orang yang terkena musibah, bukanlah seperti yang kalian ketahui, tetapi orang yang terkena musibah yaitu yang tidak memperoleh kebajikan (pahala) dalam hidupnya.`

Orang yang terkena musibah berupa kesusahan di dunia, jika ia hadapi dengan kesabaran, ikhtiar, dan tawakal kepada Allah SWT, hakikatnya ia tidak terkena musibah. Justru yang ia dapatkan adalah pahala.

Sebaliknya, musibah kesenangan selama hidupnya, jika ia tidak pandai mensyukurinya, maka itulah musibah yang sesungguhnya. Karena, bukan pahala yang ia peroleh, melainkan dosa.

Berkenaan dengan hal tersebut, dalam hadis Qudsi Allah SWT berfirman, `Demi keagungan dan kemuliaan-Ku, Aku tiada mengeluarkan hamba-Ku yang Aku inginkan kebaikan baginya dari kehidupan dunia, sehingga Aku tebus perbuatan-perbuatan dosanya dengan penyakit pada tubuhnya, kerugian pada hartanya, kehilangan anaknya. Apabila masih ada dosa yang tersisa dijadikan ia merasa berat di saat sakaratul maut, sehingga ia menjumpai Aku seperti bayi yang baru dilahirkan.`

Ayo ber Qurban...

RITUAL QURBAN


Ayat dalam Al Qur`an tentang ritual kurban antara lain : surat Al Kautsar ayat 2: Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (anhar). Sementara hadits yang berkaitan dengan kurban antara lain: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami.” (HR. Ahmad dan ibn Majah).

Hadits Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” HR. Ahmad dan ibn Majah

“Jika masuk tanggal 10 Dzul Hijjah dan ada salah seorang diantara kalian yang ingin berqurban, maka hendaklah ia tidak cukur atau memotong kukunya.” HR. Muslim

“Kami berqurban bersama Nabi SAW di Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang, satu sapi untuk tujuh orang. “ HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi.

HUKUM QURBAN

Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, dan fuqaha (ahli fiqh) menyatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah (utama), dan tidak ada seorangpun yang menyatakan wajib, kecuali Abu Hanifah (tabi’in). Ibnu Hazm menyatakan: “Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.

SYARAT-SYARAT QURBAN

Syarat dan ketentuan pembagian daging kurban adalah sebagai berikut :
• Orang yang berkurban harus mampu menyediakan hewan sembelihan dengan cara halal tanpa berutang.
• Kurban harus binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, atau biri-biri.
• Binatang yang akan disembelih tidak memiliki cacat, tidak buta, tidak pincang, tidak sakit, dan kuping serta ekor harus utuh.
• Hewan kurban telah cukup umur, yaitu unta berumur 5 tahun atau lebih, sapi atau kerbau telah berumur 2 tahun, dan domba atau kambing berumur lebih dari 1 tahun.
• Orang yang melakukan kurban hendaklah yang merdeka (bukan budak), baligh, dan berakal.
• Daging hewan kurban sebaiknya dibagi tiga, 1/3 untuk dimakan oleh yang berkurban, 1/3 disedekahkan, dan 1/3 bagian dihadiahkan kepada orang lain.

Senin, 15 September 2008

LISAN

“Allah tidak suka kepada orang yang kalau berbicara tidak mau kalah (hanya mau menang sendiri). Orang seperti ini bagaikan sapi di tempat penggembalaannya. Demikianlah Allah memasukkan lidah (LISAN) dan muka (wajah) mereka kedalam neraka.”

Hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Thabrani itu memperingatkan agar kita menjaga LISAN dan muka kita dari api neraka, khususnya pada saat kita menjalankan ibadah puasa pada Ramadhan ini.

Salah satu LISAN/ perkataan yang menyakitkan hati adalah ber ghibah (bergunjing/ menceritakan aib orang lain).

Nabi Muhammad SAW berkata : “Duduk di masjid sambil menanti waktu shalat adalah ibadah selama tidak ada pembicaraan. Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan “ selama tidak ada pembicaraan” ? para sahabat bertanya. Berghibah , Nabi menjawab dengan singkat.”

Karena itu berghibah termasuk dosa , perbuatan tercela, dan tidak terpuji. Pertengkaran, percekcokan kebencian, dendam, perselisihan dan persengketaan merupakan dampak negative dari ketidakmampuan kita mengendalikan LISAN, yang menjadi sumbernya adalah ; ghibah.

Nabi Muhammad SAW bersabda : “Sesungguhnya seseorang yang mengucapkan kata-kata, ia tidak mengatakannya kecuali hanya untuk menarik orang lain di hadapannya agar mereka tertawa/ menyanjungnya , maka ia meluncur kepada kehinaan lebih jauh dari pada jarak bumi dan langit. Dan sesungguhnya lidah seseorang yang tercelincir tersebut lebih berbahaya dari pada tergelincirnya kaki.”

Puasa yang dijalan kan dengan sungguh-sungguh mencegah untuk kita melakukan penyebaran aib orang laindan perkataan lain yang dapat menyakitkan orang lain.

Alangkah baiknya LISAN kita tersebut diperbanyak dengan melakukan dzikir Allah atau mengingat Allah SWT. Baik itu di bulan Ramadhan dan maupun kapan dan dimanapun. Zikir sebagai nyanyian religi kepada Allah SWT merupakan tujuan daripada ibadah. Memperbanyak zikir dapat mengantar kita untuk meningkatkan bobot keislaman, keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Zikir merupakan ibadah yang sangat ampuh untuk mencegah LISAN dari perkataan menyakitkan.


Azyumardi Azra

Kamis, 04 September 2008

Ramadhan

Wahai manusia ! suatu bulan yang penuh nikmat, rahmat, dan ampunan telah datang mendekat. Allah menganggapnya sebagai bulan terbaik dari seluruh bulan. Siangnya terbaik disisi Allah. Malamnya terbaik. Waktu-waktunya terbaik. Pada bulan ini Allah mengundang kalian sebagai tamu-tamunya dan selama bulan itu, kalian layak menikmati karunia Allah… biarkanlah lapar dan dahaga kalian selama bulan ini mengingatkan kalian tentang lapar dan dahaga hari kiamat. Santunilah anak-anak yatim orang lain agar anak-anak yatim kalian menerima santunan yang sama.

Khotbah Nabi Muhammad SAW didepan sahabat-sahabatnya.

Selasa, 26 Agustus 2008

Marhaban Ya Ramadhan……

Salah satu ibadah yang diperintahkan Allah SWT adalah puasa atau shiyam. Secara bahasa,kata shiyam atau shaum berarti “menahan”,”berhenti”,atau “tidak bergerak”. Manusia yang berusaha menahan diri dari satu aktifitas apa pun bentuknya dinamai sha’im(berpuasa). Pengertian kebahasaan ini dipersempit maknanya oleh hukum syariah sehingga shiyam hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan,minum,dan upaya mengeluarkan sperma dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari”.

Perintah berpuasa di bulan Ramadhan ada dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183-187.Puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi SAW berada di Madinah dan para ulama bersepakat surat Al-Baqarah turun dikota ini. Para sejarawan menyatakan kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya’ban tahun Hijrah.

Ramadhan diambil dari kata ramadh, yang artinya “membakar”. Di bulan itu,seluruh dosa para hamba Allah habis terbakar oleh amal-amal ibadah yang dilakukan. Orang yang hatinya dipenuhi kesadaran akan fitrahnya berusaha memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan yang datang hanya (maksimal) tiga puluh hari dalam setahun. Ia akan senantiasa berusaha memenuhi hari-harinya dengan berbagai aktivitas ibadah, baik yang wajib maupun yang sunah, sehingga akhirnya akan keluar dari bulan ini dengan membawa kemenangan yang besar dan kembali kepada fitrah kesucian; minal aidin wal faizin.

Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa dimulai dengan ajakan kepada setiap orang yang memiliki iman walau seberat apa pun, “ Wahai orang-orang beriman, diwajibkan kepada kamu puasa, sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat terdahulu sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.

Hal ini menegaskan bahwa tujuan utama puasa adalah membentuk insan yang bertakwa, dalam arti mampu melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa takwa merupakan sumber segala kebaikan, baik duniawi maupun ukhrawi. Orang yang bertakwa akan diberi jalan keluar dari segala macam kesulitan, diberi rezeki (lahir maupun batin) yang banyak dimudahkan segala urusannya, dan diampuni segala dosanya, dan dilipatgandakan pahala ibadahnya oleh Allah SWT. Oleh karena itu, kesempatan meraih derajat takwa yang diberikan oleh Allah hendaklah dipergunakan sebaik mungkin sehingga kita dapat meraih kebahagiaan dan kebaikan di dunia dan akhirat.

Ada gunung tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng curam, belukar lebat, bahkan ada perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Namun bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang. Saat itu akan nampak jelas rambu-rambu jalan, tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan AR-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT.

Tentu kita perlu bekal guna menelusuri jalan itu, tahukah anda apakah bekal yang baik itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan salat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa, dan Negara. Semoga kita berhasil dan untuk itu mari kita membuka lembaran Al-Quran untuk mempelajari bagaimana tuntunan yang semestinya kita lakukan agar segala amal baik kita diterima Allah SWT.

H. Herdiansyah Achmad LC.

Kamis, 21 Agustus 2008

Modal Hidup

Sudah Mantapkah Keyakinanmu…?Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

Saudaraku, Tiada Tuhan selain Allah yang menjamin segenap makhluk yang yakin dengan jaminan-Nya. Tidak ada satupun penghalang jaminan Allah, kecuali su'uzhan dari makhluk itu sendiri. Memang, Dia sesuai dengan sangkaan hamba-Nya.
Seorang hamba yang sangat yakin akan pertolongan-Nya, maka dengan keyakinannya itulah Allah akan menolongnya. Seorang hamba yang yakin do'anya akan diijabah, maka tidak ada keraguan sama sekali, Allah pun akan mengijabah do'a-do'anya seorang hamba yang yakin Allah akan membebaskannya dari kesempitan dan kesulitan yang sedang dihadapinya, dan begitu bulat keyakinannya itu maka Allah pun akan membebaskannya dari segala kesempitan dan kesulitan.
"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya tentang Aku Maka (Jawablah) Bahwa Aku Adalah Dekat (QS. Al-Baqarah [2]: 186).
Sebaliknya kalau seorang hamba ragu-ragu terhadap pertolongan Allah, tetapi lebih yakin dengan kemampuan dirinya sendiri atau dengan pertolonan makhluk-makhluk, maka jangan salahkan siapa pun kalau hidup ini akan diliputi kekecewaan. Mengapa? Karena Allah telah menjelaskan "Anaa 'indazhanni 'abdibi...." Aku- firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi- sesuai dengan persangkaan hamba-Ku!
Dengan demikian, siapapun yang ingin hidupnnya selalu dibela, dilindungi, dimudahkan urusannya, dan dikabulkan do'a-do'anya oleh Allah tetapi tidak pernah bersungguh-sungguh meningkatkan mutu keyakinannya kepada Allah Azza Wa Jalla, maka tampaknya semua keinginan itu tak lebih hanya angan-angan belaka.
Padahal justru keyakinan yang semakin mantap kepada Allah inilah kekayaan termahal, yang akan membuat hidup kita sepelik, sesulit dan serumit apapun, akan mudah ditemukam jalan keluarnya. Sehebat apapun berkecamuknya urusan dan masalah, sama sekali tidak akan sampai mengaduk-aduk kalbu kita. Seberat apapun beban yang kita pikul, tidak akan membuat kita roboh. Sungguh keyakinan kepada Allah tidak bisa tidak akan membuat semua urusan akan menjadi lebih mudah dan lebih ringan. Karena, Allah lah satu-satunya zat maha pengurus segala urusan. Dialah yang akan menjamin segala urusan kita.
Semoga Allah menolong kita menjadi orang yang selalu rindu bisa mengenal Allah dengan baik dan diberi karunia keyakinan yang mantap. Wallahu'alam

Kun Fayakuun . Oleh : Ustadz Yusuf Mansyur

Hari gini, banyak yang berputus asa. Atau sedikitnya, berkurang imannya kepada Allah. Banyak yang tidak percaya bahwa ia bisa berhasil. Tidaklah sedikit yang percaya bahwa nasib buruk akan menimpanya. Atau, tidak mau meyakini bahwa pertolongan Allah itu bakal datang. Sebagiannya hanya mau percaya bahwa hidupnya ya gitu-gitu aja. Ga akan ada perubahan, sbb otaknya mengatakan ia tidak mungkin berubah. Tanya saja kepada seorang pegawai yang gajinya kurang. Ia akan memandang segala kekurangannya, dan kekalahannya setiap bulan secara keuangan. Tanya juga para pedagang yang kekurangan modal. Baginya, ia bakalan punya keuntungan berlipat-lipat kalau ia bisa memiliki modal tambahan yang berlipat-lipat. Tanya pula mereka yang memiliki hutang segunung, sedangkan pekerjaan dan usaha sdh tidak ada. Apalagi kalau kemudian peluang dan kesempatan juga terasa gelap baginya. Maka, hutang itu katanya tidak akan pernah terbayarkan. Tanya pula kepada mereka yang terkena kanker, atau anggauta keluarganya ada yang kena penyakit kronis, menahun. Ia akan lihat kematian yang cepatlah jawaban yang tepat. Kun Fayakuun, ia saya suarakan agar diri ini tidak melemah. Tidak jatuh dlm keputusasaan. Tidak larut dalam kesedihan. Dan yang lbh penting lagi, tumbuh kemudian keinginan tuk berubah, dan percaya bahwa segalanya masih mungkin, sebab tuhannya adalah Allah Yang Maha Kuasa. Kun Fayakuun.